Di zamam pra-sejarah, manusia mengkomunikasikan pikiran, pengetahuan, dan gagasannya ke lingkungan sosialnya secara verbal. Dan dalam beberapa kasus, dengan menggunakan simbol-simbol material berupa ukiran pada batu, dinding gua, dan lain sebagainya. Komunikasi tertulis yang mula-mula dikembangkan memungkinkan informasi untuk disimpan dan dibaca oleh orang-orang lain di waktu-waktu kemudian. Penyimpanan dan pengalihan informasi melalui teknologi umumnya berlangsung secara lamban, mahal, dan membutuhkan banyak tenaga.
Dengan ditemukannya teknologi cetak ( printing technology ), informasi dapat dialihkan ke lebih banyak orang, di wilayah yang lebih luas, dan dengan biaya yang lebih murah. Di peralihan millennium sekarang ini, perkembangan media elektronik, mencakup radio, televise, dan telepon, telah memungkinkan penurunan waktu pengalihan informasi secara dramatik.
Jarak geografis kini tidak lagi menjadi penghalang dalam proses komunikasi dan pertukaran informasi. Biaya penyimpanan dan pengantaran informasi secara elektronik kini telah semakin banyak ditentukan oleh kebijakan public, ketimbang oleh faktor-faktor teknikal semata. Misalnya, harga pusa telepon lebih terkait dengan kebijakan regulasi public dari pada harga actual yang dibutuhkannya.
Komputer-komputer digital dan media penyimpanan informasi berskala besar dan missal telah memungkinkan terwujudnya basis data dengan kemampuan untuk memproses dan memanipulasi informasi. Tidak dengan informasi tertulis, data yang tersimpan secara elektronik ini ‘ tak tampak ‘ bagi mata biasa, kecuali bagi perangkat keras dan lunak untuk melakukan decoding ( seperti komputer dengan kartu baca magnetic ).
Teknologi pemrosesan data secara elektronik ini bersama dengan teknologi komputer digital telah menghasilkan sebuah aliansi sinergis baru yang dikenal luas sebagai teknologi informasi, atau Teknologi Telematika. Ruang , waktu, dan biaya secara berangsur-angsur direduksi melalui aplikasi-aplikasi tekonologi komputer, penyimpanan missal, dan transmisi elektronikal dan optial.
Pengontrolan informasi dalam rangka teknologi seperti ini menjadi lebih terdistribusi ketimbang sebelumnya. Dan peranan-peranan pemerintah, agen-agen komersial, pengusaha-pengusaha swasta menjadi lebih sulit untuk dimengerti.
Perkembangan telematika penulis dibagi menjadi 2 masa yaitu
masa sebelum atau pra satelit dan masa satelit.
- Masa Pra-Satelit
Sedangkan telepon pada masa itu tidak terlalu penting
sehingga anggaran pemerintah untuk membangun telekomunikasi pun masih kecil
jumlahnya. Saat itu, telepon dikelola oleh PTT (Perusahaan Telepon dan
Telegrap) saja. Sampai pergantian rezim dari Orla ke Orba di tahun 1965, RRI
merupakan operator tunggal siaran radio di Indonesia. Setelah itu bermunculan
radio – radio siaran swasta. Lima tahun kemudian muncul PP NO. 55 tahun 1970
yang mengatur tentang radio siaran non pemerintah.
Periode awal tahun
1960-an merupakan masa suram bagi pertelekomunikasian Indonesia, para ahli
teknologi masih menggeluti teknologi sederhana dan “kuno”. Misalnya saja, PTT
masih menggunakan sentral-sentral telepon yang manual, teknik radio High
Frequency ataupun saluran kawat terbuka (Open Were Lines). Pada masa itu,
banyak negara pemberi dana untuk Indonesia – termasuk pendana untuk
pengembangan telekomunikasi, menghentikan bantuannya. Hal itu karena semakin
memburuknya situasi dan kondisi ekonomi dan politi di Indonesia.
Tercatat bahwa pada masa 1960-1967, hanya Jerman saja yang
masih bersikap setia dan menaruh perhatian besar pada bidang telekomunikasi
Indonesia, dan menyediakan dana walau di masa-masa sulit sekalipun. Ketika itu
pengembangan telekomunikasi masih difokuskan pada pengadaan sentra telepon,
baik untuk komunikasi lokal maupun jarak jauh, dan jaringan kabel. Indonesia
saat itu belum memiliki satelit. Sentral telepon beserta perlengkapan hubungan
jarak jauh ini diperoleh dari Jerman. Pada saat itu, Indonesia hanya dapat
membeli produk yang sama, dari perusahaan yang sama, yakni Perusahaan Jerman.
Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia.
Keleluasaan barulah bisa dirasakan setelah di tahun
1967/1968 mengalir pinjaman- pinjaman ke Indonesia, baik bilateral ataupun
pinjaman multilateral dari Bank Dunia, melalui pinjaman yang disepakati IGGI.
Akan tetapi, pada masa inipun inovasi dalam pemfungsian teknologi
telekomunikasi masih belum berkembang dengan baik di negeri ini. Peda dasarnya
kita memberi dan memakai perlengkapan seperti switches, cables, carries yang
sudah lazim kita pakai sebelumnya.
Televisi Badan penyiaran televisi lahir tahun 1962 sebelum
adanya satelit yang semula hanya dimaksudkan sebagai perlengkapan bagi
penyelenggara Asian Games IV di Jakarta. Siaran percobaan pertama kali terjadi
pada 17 Agustus 1962 yang menyiarkan upacara peringatan kemerdekaan RI dari
Istana Merdeka melalui microwave. Dan pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI bisa
menyiarkan upacara pembukaan Asian Games, dan tanggal itu dinyatakan sebagai
hari jadi TVRI. Terdorong oleh inovasi,
akhirnya pada tanggal 14 November 1962 untuk pertama kalinya TVRI memberanikan
diri melakukan siaran langsung dari studio yang berukuran 9x11 meter dan tanpa
akustik yang memadai. Acaranya terbatas, hanya berupa permainan piano tunggal
oleh B.J. Supriadi dengan pengaruh acara Alex Leo.
Lebih setahun setelah siaran pertama, barulah keberadaan
TVRI dijelaskan dengan pembentukan Yayasan TVRI melalui Keppres No. 215/1963
tertanggal 20 oktober 1963. Antara lain disebutkan bahwa TVRI menjadi alat
hubungan masyarakat (mass communication media) dalam pembangunan
mental/spiritual dan fisik daripada Bangsa dan Negara Indonesia serta
pembentukan manusia sosialis Indonesia pada khususnya.
Sampai tahun 1989, TVRI merupakan operator tunggal di bidang
penyiaran televise. Jadi sebelum satelit palapa mengorbit, Indonesia hanya
mengenal telekomunikasi yang bersifat terestrial, yakni yang jangkauannya masih
dibatasi oleh lautan. Telekomunikasi seperti ini tidak bisa menjangkau
pulau-pulau kecuali melalui
penggunaan SKKL (Saluran Komunikasi Kabel Laut) yang mahal
dan sulit dipergunakan.
- Masa Satelit
Domestik Palapa Gagasan tentang peluncuran satelit bagi
telekomunikasi domestik di Indonesia bisa ditelusuri asal muasalnya dari sebuah
konferensi di Janewa tahun 1971 yang disebut WARCST (World Administrative Radio
Confrence on Space Telecomunication).
Pada konferensi itu di tampilkan pila pameran dari
perusahaan raksasa pesawat terbang Hughes. Perusahaan inilah yang mengusulkan
ide pemanfaatan satelit bagi kepentingan domestik Indonesia. Hal tersebut
disambut oleh Suhardjono yang berlatar belakang militer dan membawa masalah
satelit itu sampai ke Presiden RI.
Selain pertimbangan kelayakan ekonomi dan teknis, sejarah
peluncuran satelit ini juga diwarnai oleh kepentingan politik dimana hubungan
antara Indonesia dengan negara- negara lain sudah mulai bersahabat. Di sisi
lain, satelit memungkinkan penyebaran luas ideologi negara ke masyarakat luas
melalui TV, satelit juga menguntungkan secara ekonomi. Komunikasi tentang cara-cara menggali sumber
daya alam dapat berlangsung dengan mudah. Ini berlaku untuk kasus tembaga pura
(Freeport) dan di Dili. Peluncuran satelit Palapa di Cape Canaveral, Florida,
bulan Agustus 1976 pada panel peluncuran terdapat 3 orang Indonesia dan
perwakilan dari perusahaan NASA dan Hughes.
Kejadian ini diresmikan juga melalui pidato kenegaraan oleh
presiden Soeharto di Jakarta, tanggal 16 Agustus 1976. ini merupakan satu-
satunya proyek teknologi yang mendapat tempat terhormat di gedung Parlemen.
Namun peluncuran satelit itu merupakan kebijakan nasional yang gagasan awalnya
dicetuskan oleh pemerintah.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Indonesia pernah
mengalami ancaman perpecahan. Untuk mempersatukan tanah air yang sangat luas
ini diperlukan sarana perhubungan yang mencakup seluruh wilayah nusantara.
Proses kelahiran satelit ini hanya melibatkan sedikit teknokrat dan teknolog
yang berpihak pada kepentingan Orba.
Dengan semakin bergantungnya Indonesia pada teknologi
satelit, muncullah sejumlah perusahaan yang bergerak dalam produksi
perlengkapan terkait, seperti RFC (milik Iskandar Alisjahbana), LEN (milik
Kayatmo), PT. INTI. Setelah periode itu, aspek bisnis di dunia telekomunikasi
mencuat. Inovasi lebih banyak terjadi pada penyediaan layanan, sementara
pengembangan teknologi untuk komponen berkurang.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat di tahun 1988 membuat
kebutuhan telekomunikasi melonjak secara drastis. Untuk memenuhi kebutuhan
telepon yang melonjak, disadari pemerintah perlunya perubahan regulasi, yang
kemudian membuahkan UU no. 3 tahun 1989 tentang pengertian telekomunikasi yang
diperluas hingga mencakup alat pengiriman data seperti facsimile dan telex, dan
lain-lainnya.
Sebelum lahirnya UU
ini, Telkom dan Indosat disebut sebagai badan penyelenggara telekomunikasi yang
menyediakan seluruh jejaring dan layanan jasa. Dampak positif dari berlakunya
UU tersebut adalah mulai masuknya pihak-pihak swasta dengan modal yang besar,
walaupun dalam skala usaha yang terbatas.
Mereka datang dengan membawa teknologi baru, tenaga ahli,
manajemen yang baru. Ini semua kemudian menciptakan iklim usaha yang baru dalam
penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia. Dengan terlibatnya pihak asing
dalam pengadaan dana, teknologi dan menejemen, perkembangan teknologi
telekomunikasi berkembang dengan pesat. Hal ini terjadi sekitar tahun 1990-an
dan dampaknya terlihat mulai tahun 1991 khususnya terlihat jelas bahwa
jangkauan telekomunikasi di Indonesia menjadi bertambah luas. Perkembangan teknologipun berkembang pesat,
mulai dari pesawat telepon manual ke otomatis, dan dari analog menjadi digital.
Pada gilirannya perkembangan ini menuntut adanya pengaturan infrastruktur dan
standarisasi peralatan. Tak lama kemudian masuklah teknologi
mobile-telecommunication.
Berkembanglah pemakaian handphone yang bardampak tumbuhnya
usaha-usaha yang tidak hanya menyediakan layanan atau jejaring saja, melainkan
juga membangun pabrik-pabrik dalam upaya pemenuhan kebutuhan akan kabel.
Menarik untuk dicatat bahwa di era serbuan bisnis telekomunikasi itu, ternyata
kaidah dan aturan bisnis professional tidak sepenuhnya diikuti.
Sementara itu faktor politik tampaknya justru mengambil
peranan penting. Kala itu terjadi campur tangan bisnis dari “Keluarga Cendana”
yang mengambil peranan sebagai mitra bisnis PT Telkom dan Indosat yang kemudian
diikuti oleh krono-kroni mereka seperti Liem Sio Liong melalui “Sinar Mas”- nya
dan lain-lain. Di era emas telekomunikasi itu, tumbuh dorongan kuat agar Bank
Indonesia membuka pintunya lebar-lebar bagi pihak swasta asing. Bahkan mereka menginginkan adanya privatisasi
Telkom dan Indosat dalam penyelenggaraannya. Dampak dari dorongan ini
mencuatnya pandangan bahwa regulasi yang ada sudah tidak memadai lagi. Di
sekitar tahun 1996, mulailah disusun rencana untuk meninjau kembali UU No. 3
tahun 1989.
Beberapa hal yang diperhatikan dalam review ini adalah : 1.
Perkembangan teknologi tahun 1995-1996 itu berbeda sekali dengan di tahun 1990.
ini terutama terjadi akibat konvergensi teknologi, sebagai fungsi dari berbagai
jenis jasa berubah dan timbul jasa-jasa baru yang perlu diakomodasikan.
Konvergensi teknologi bahkan memungkinkan teknologi dipadu dengan broadcasting,
sehingga timbullah telematika, teleinformatika, teknologi informasi dan
lain-lain yang menuntut kebijakan dan peraturan yang baru. 2. Perkembangan
teknologi informasi dan broadcasting itu ternyata tidak hanya berpengaruh pada
masalah politik, dalam artian berita, tetapi juga iklan yang sangat berpengaruh
dalam dunia bisnis. Lebih jauh lagi dengan berkembangannya telebanking,
telekumunikasi sebelumnya dilihat hanya sebagai public utility, kini berubah
menjad bisnis opportunity.
Referensi :
http://www.gudangmateri.com/2010/08/perkembangan-telematika-di-indonesia.html
robby.c.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/.../sejarah-telematika.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar